Keperawatan Sebagai Ilmu dan Profesi Dalam Pandangan Islam: Konsep dan Hukum


Keperawatan Sebagai Ilmu dan Profesi Dalam Pandangan Islam:
Konsep dan Hukum
Oleh M. Ridwan Lubis
Pendahuluan
            Sejak manusia lahir maka kepada mereka sudah ditakdirkan untuk merawat dirinya sendiri. Keperawatan telah berkembang baik sebagai ilmu maupun profesi sehingga ia telah menjadi bidang studi yang mandiri. Hal ini ditandai dengan adanya dorongan bagi seorang ibu untuk membagi dirinya kepada bayinya melalui proses penyusuan. Namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pekerjaan keperawatan tidak hanya berkembang sebatas kegiatan alamiah namun tumbuh dalam bentuk penalaran sehingga melahirkan berbagai kegiatan seperti observasi, eksperimen, empiris yang digali akarnya dari pemikiran kefilsafatan maupun budaya. Akan tetapi penggalian pengetahuan tentang keperawatan mendorong untuk terus mencari akar yang lebih dalam lagi yaitu tidak sekedar bersumber dari keberadaan manusia dengan alam semesta akan tetapi dari hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Allah SWT. Kajian tentang keperawatan yang berdasar pada aliran pemikiran positivism dan pragmatism disadari semakin menjauhkan manusia dari nilai-nilai etika universal sehingga pekerjaan keperawatan dilihat hanya sebagai pekerjaan yang bertujuan jangka pendek. Akibatnya, tugas keperawatan tidak melahirkan suatu rasa cinta dan kasih sayang terhadap sesame makhluk Allah karena hanya lahir dari motivasi untuk tujuan-tujuan jangka pendek seperti sekedar melaksanakan kewajiban, motif mencari upah. Atas dasar itu, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah yang didalamnya terdapat Program Studi Keperawatan, sudah barang tentu memikul tugas kesejarahan yaitu memberi corak baru terhadap studi keperawatan yang didasarkan kepada ilmu dan profesi keperawatan yang berakar dari nilai-nilai filosofi ajaran Islam. Sehingga dengan kajian yang demikian diharapkan bahwa seorang perawat yang berlatar belakang dari filosofi ajaran Islam menjadi sarjana keperawatan yang paripurna (insan al kamil) yang dapat menunjukkan integrasi antara ilmu pengetahuan keperawatan dengan muatan ajaran Islam.

Proses Keperawatan
            Proses keperawatan adalah suatu metode sistematis dan ilmiah yang digunakan perawat untuk memenuhi kebutuhan klien dalam mencapai atau mempertahankan keadaan biologis, psikologis, sosial, dan spiritual yang optimal melalui tahap pengkajian, identifikasi diagnosis keperawatan, penentuan rencana keperawatan, melaksanakan tindakan keperawatan, serta evaluasi tindakan keperawatan.[1]  Selanjutnya fungsi keperawatan adalah membantu perawat dalam melaksanakan pemecahan masalah keperawatan secara sistimatis; dan, adanya tanggung jawab dan tanggung gugat terhadap klien sehingga keperawatan dapat meningkat.[2] Dengan fungsi keperawatan maka seorang perawat tidak hanya bekerja menurut instink akan tetapi melalui pemikiran yang sistimatis dilandasi oleh teori keperawatan sehingga tindakan keperawatan menjadi bertanggung jawab dan memiliki kesiapan untuk digugat. Perawat yang telah terlatih adalah merupakan sumber daya manusia yang telah memiliki kemampuan sebagai:
1.      Manajer keperawatan (case manager)
2.      Fisioterafis
3.      Occupational therapist;
4.      Speech therapist;
5.      Care coordinator;
6.      Perawat kesehatan masyarakat;
7.      Perawat panti tresna wreda, sasana tresna wreda;
8.      Perawat di day care center, rumah sakit, dan pengunjung rumah.[3]

Selanjutnya, sifat dan karakteristik proses keperawatan adalah sebagai berikut:
a)      Dinamis, setiap proses keperawatan selalu dapat diperbarui seiring dengan terjadi berbagai perubahan dalam masyarakat.
b)      Siklus, proses keperawatan berjalan secara siklus atau berulang sesuai dengan kebutuhan orang yang dirawat.
c)      Saling interdependen artinya setiap proses keperawatan saling tergantung dengan satu dengan yang lain misalnya apabila data yang dikumpulkan kurang lengkap maka dapat berakibat diagnosis yang dilakukan salah demikian pula apabila sudah berkaitan dengan perencanaan dan tindakan keperawatan.
d)      Fleksibel, proses pendekatan dalam keperawatan yang tidak kaku dan dapat berubah ketika terjadi perubahan akibat perubahan obyek dan kondisi yang mengitarinya.
e)      Bersifat individual untuk setiap kebutuhan pribadi klien.
f)       Terencana, artinya proses keperawatan tidak melalui faktor kebetulan akan tetapi ada perencanaan sebelumnya.
g)      Mengarah kepada tujuan.
h)      Memberikan kesempatan kepada perawat dan klien untuk menerapkan fleksibilitas dan kreativitas maksimal dalam merancang cara memecahkan masalah kesehatan.
i)        Menekankan umpan balik yaitu memberi arah kepada pengkajian ulang masalah atau memperbaiki rencana asuhan. Dengan menekankan umpan balik, maka hal tersebut dapat dijadikan pertimbangan tindakan ketika terjadi kasus yang memiliki kesamaan diagnosisnya.
j)        Menekankan validasi yaitu setiap masalah divalidasi dengan data agar membuktikan bahwa tindakan keperawatan yang dilakukan benar.[4]

   Sebagai bagian dari operasionalisasi proses keperawatan yang lebih besar maka daftar masalah klien yang berurutan dan komprehensif  diuji dan dihasilkan. Masalah klien dalam proses keperawatan itu dikelompokkan dalam empat domain utama yaitu lingkungan, psikososial, fisiologis dan perilaku sehat.[5] Sesuai dengan tipologi intervensi keparawatan, maka dalam klasifikasi Freeman’s (1970), naskah keperawatan kesehatan klasik ditemukan tiga langkah intervensi (1) suplemental, yaitu perawat menempatkan diri sebagai pemberi pelayanan perawatan langsung dengan melakukan intervensi terhadap bidang-bidang yang tidak dapat dilakukan keluarga (2) fasilitatif, yaitu perawat menyingkirkan halangan-halangan terhadap pelayanan yang diperlukan sepertti pelayanan medis, kesejahteraan sosial, tranportasi dan pelayanan di rumah (3) perkembangan, yaitu tujuan perawatan diarahkan pada perbaikan kapasitas penerima perawatan agar dapat bertindak atas nama dirinya, lebih dari itu lagi, membantu keluarga memanfaatkan sumber-sumber kesehatan pribadi seperti sistim dukungan sosial internal dan eksternal.[6]
 Manfaat bagi pengunaan proses keperawatan dapat dilihat dari dua sisi yaitu manfaat bagi pelayanan kesehatan dan manfaat bagi pelaksana keperawatan. Untuk yang pertama, maka manfaat bagi pelayanan kesehatan itu dilihat dari dua sisi yaitu (1) sebagai pedoman yang sistimatis bagi terselenggaranya pelayanan kesehatan, (2) sebagai alat untuk mengikatkan mutu pelayanan kesehatan, khsusunya pelayanan keperawatan. Selanjutnya manfaat terhadap pengunaan proses keperawatan terhadap pelaksana keperawatan adalah (1) menimbulkan kepuasan kerja (2) menimbulkan profesionalisme (3) tindakan legal terhadap pasien, dan, (4) proses keperawatan mengandung tanggung gugat dan tanggung jawab perawat untuk mengkaji, menganalisis, merencanakan, melaksanakan dan menilai asuhan klien.[7] Keperawatan terbagi ke dalam lima dimensi yaitu hukum, etik, profesi, gugatan dan kebijakan. Dimensi etik keperawatan dapat ditelusuri pada tiga hal yaitu praktik keperawatan, filsafat keperawatan dan etika keperawatan. Dalam profesi keperawatan berkaitan dengan filsafat keperawatan yaitu pola hubungan tenaga professional-klien, sistim bekerja dalam tim bersama kolega dan pertanyaan yang lebih luas terhadap berbagai kebijakan lembaga baik nasional maupun local.[8] Secara etik, perawatan kesehatan memiliki empat prinsip yaitu (1) penghargaan terhadap otonomi perawatan, hal ini bertujuan untuk menghindarkan terjadinya ketergantungan antara tenaga professional terhadap klien (2) tidak bertentangan dengan teori perawatan (3) memberikan keuntungan baik kepada klien maupun tenaga professional, dan (4) keadilan yaitu sesuatu diletakkan seimbang antara hak dan kewajibannya.[9]

Keperawatan Dalam Islam
 Islam adalah agama yang memiliki akar kata s-l-m yang berarti selamat, damai, penyerahan dan tangga. Oleh karena itu, seluruh bangunan ajaran Islam adalah membawa ajaran yang menyelamatkan kehidupan umat manusia di dunia dan di akhirat. Secara terminologi, Islam adalah tunduk dan patuh secara sempurna terhadap seluruh ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW yang dapat diketahui secara darurat (al islam: al khudlu’ wa al inqiyad al tamm lima ja-a bihi Nabiyu Muhammadin sallallahu ‘alaihi wa salam wa ‘ulima bi al dlarurat). Setiap umat Islam dituntut untuk menjadikan seluruh rangkaian kehidupannya menjadi ibadah (taqarrub) kepada Allah SWT karena hanya dengan cara seperti itulah hidup menjadi bermakna.[10] Tugas seorang muslim untuk menyebarkan keselamatan bagi setiap makhluk termasuk manusia tanpa membeda-bedakan seorang pasien berdasar pada agamanya. Tugas penyebaran untuk berbuat baik adalah merupakan inti dari ajaran dakwah yaitu mendorong manusia kepada kebaikan dan petunjuk, menyuruh perbuatan makruf dan mencegah perbuatan mungkar, agar mereka memperoleh kehidupan yang beruntung di dunia dan di akhirat.[11]
 Oleh karena itu, profesi keperawatan dalam pandangan Islam memiliki berbagai aspek. Seorang perawat juga bisa berfusngsi sebagai muballig, da’i, guru dan sebagainya. Sebagaimana disinggung di muka bahwa terdapat empat prinsip etika dalam profesi keperawatan, maka akan diberi alas teologis dari sudut pandangan Islam. Pertama, penghargaan terhadap kemandirian klien menjadi prinsip etik dalam teori keperawatan. Islam mengajarkan bahwa keberadaan seorang manusia hendaklah memperbanyak orang yang memberikan pertolongan bukan orang yang mengharap pertolongan sesuai dengan sabda Rasul yadu al ‘ulya khairun min yadu al sufla, artinya tangan di atas yaitu yang memberikan pertolongan lebih baik dari tangan yang di bawah. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pandangan Islam seseorang sebaiknya menjadi pribadi yang mandiri yaitu yang dapat menolong orang lain karena perbuatan itu pada hakikatnya adalah menolong dirinya sendiri. Kedua, tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan teori keperawatan sekalipun pada akhirnya yang menyembuhkan itu semata-mata Allah SWT. Seluruh perangkat tenaga medis hanya berfungsi sebagai sebab yang mengantarkan kesembuhan atau sebaliknya terhadap klien. Ketiga, seorang yang berprofesi sebagai perawat dan memiliki komitmen keislaman yang kuat adalah selalu mempertimbangkan manfaat dari perbuatannya karena Rasul bersabda yang artinya sebagian dari tanda keindahan Islam seseorang adalah meninggalkan perbuatan yang tidak berguna kepadanya (min husni islam al mar-I tarku ma la ya’nihi). Keempat,  seorang yang berprofesi perawat adalah mereka yang mampu berlaku adil baik kepada pasien maupun kepada dirinya sendiri sehingga juga memperhatikan kebutuhan fisik dan psikisnya. Berikut akan diuraikan beberapa prinsip keperawatan dalam Islam yaitu sebagai berikut.
1.      Aspek Teologis: setiap hamba telah dibekali oleh Allah dua potensi yaitu kehendak (masyiah) dan kemampuan (istitha’ah). Atas dasar kehendak maka seorang muslim memiliki cita-cita untuk melakukan berbagai rekayasa dan inovasi dalam kehidupannya yang dibaktikan karena Allah. Dengan adanya kehendak dan kemampuan maka seorang manusia melakukan upaya yang sungguh-sungguh tanpa menyisakan kemampuannya dan setelah itu menyerahkan hasilnya menanti ketentuan Allah. Dalam perspektif yang seperti itulah bertemunya dua hal yang seing dipandang krusial dalam pemahaman akidah yaitu antara usaha manusia dan takdir Allah. Keduanya adalah merupakan perpaduan dalam perjalanan hidup manusia yang disebut tawakkal. Hal ini tercermin dalam Al Quran sebagian diantaranya menekankan manusia agar berbuat secara maksimal karena Allah tidak akan merubah nasib seseorang sehingga merubah sendiri.[12] Sementara pada ayat yang lain menegaskan seakan manusia tidak berperan sedikitpun dalam perbuatannya dengan mengatakan Dan Allah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu kerjakan.[13]
2.      Aspek Fungsi keanusiaan yaitu khilafah dan ibadah. Tugas khilafah adalah mengelola seluruh alam semesta untuk kepentingan umat manusia. Dan tentunya harus diingat bahwa tugas pengelolaan yang baik harus dilakukan oleh hamba-hamba Allah yang memiliki kepatutan untuk itu.[14] Selanjutnya pelaksanaan tugas khilafah yang benar pastilah akan menghasilkan ibadah yang benar pula dan demikian sebaliknya. Atas dasar itu, seorang muslim hendaknya menggali seluruh informasi ilmu pengetahuan tentang alam semesta termasuk tugas perawatan sekalipun ilmu itu ada pada umat lain yang tidak muslim. Anjuran tentang hal ini ditegaskan dalam berbagai ayat Al Quran antara lain dengan penyebutan tipologi orang berilmu itu dengan ulul albab. Allah menegaskan bahwa sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian siang dan malam adalah menjadi tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang yang berpikir[15] Selanjutnya dalam ayat berikutnya Allah menjelaskan tanda-tanda orang yang disebut ulul albab yaitu orang yang selalu mengingat Allah; memikirkan penciptaan langit dan bumi; dan kemudian yang mampu mengambil keputusan: ya Tuhan kami, tidaklah Engkau jadikan semua ayang ada di alam semesta ini sia-sia; dan terakhir pernyataan Maha Suci Allah dari sifat kekurangan dan peliharalah kami dari azab neraka.[16]
3.      Aspek akhlak yaitu ihsan yang menyatakan bahwa setiap orang yang beriman hendaklah menyadari bahwa dirinya selalu dalam pengawasan Allah sesuai dengan Hadis Rasul bahwa engkau menyembah Allah seakan engkau melihatNya dan andaikata engkau tidak mampu melihatNya maka yakinlah Ia melihatmu (an ta’bud Allah kaannaka tarahu fa in lam takun tarahu fa innahu yaraka). Atas dasar itu, seorang muslim  dalam segala tindakannya tidak memerlukan kendali eksternal untuk menjadi orang baik karena di dalam hatinya terdapat potensi fitrah yang selalu menuntunnya untuk menjadi orang yang takut berbuat maksiat.

Tujuan Penetapan Hukum Syariat
Hukum Islam disebut dengan syariat dengan pengertian dasarnya adalah bermakna jalan yaitu jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Hukum syariat diturunkan Allah adalah semata-mata untuk kemaslahatan hambaNya oleh karena itu tidak ada dalam ajaran Islam yang dapat membuat hidup manusia menjadi susah. Justru, syariat bertujuan untuk membuat kehidupan manusia lebih mudah dan tenteram. Tujuan penetapan hukum syariat (maqashid al syari’at) itu disusun oleh ulama fikh ke dalam lima prinsip pemeliharaan yaitu:
1.      Hifz Al Din, yaitu syariat bertujuan untuk memelihara agama agar hidup manusia selamat dunia dan akhirat. Agama (din) adalah yang utama sebagai dasar kehidupan manusia karena tanpa agama maka hidup manusia tidak memiliki arah dan tujuan.
2.      Hifz Al Nafs, yaitu syariat bertujuan untuk memelihara kelangsungan hidup manusia karena manusia adalah hamba Allah dalam format tubuh yang sempurna. Oleh karena itu, tidak selayaknya kehidupan manusia menjadi susah akibat pengamalan ajaran agama.
3.      Hifz Al Nasl, yaitu syariat menegaskan bahwa perlunya kelangsungan keturunan manusia sehingga semakin banyak orang yang menyembah Allah. Oleh karena itu, tindakan keperawatan yang memutuskan kelangsungan keturunan tanpa alasan yang sah maka tindakan itu terlarang dalam ajaran Islam.
4.      Hifz Al ‘aql, yaitu syariat bertujuan untuk menjaga keberadaan akal manusia sehingga akal menjadi salah satu patokan seseorang dibebani hukum syari’at (taklif).
5.      Hifz Al Mal, yaitu syariat bertujuan untuk memelihara aturan tentang kepemilikan dan penyalurannya kepada yang berhak.

Dari uraian di atas, maka kedatangan syariat adalah untuk menegaskan keberadaan manusia sebagai hamba Allah yang berkewajiban beribadah kepadaNya dan melaksanakan tugasnya mengelola segala sesuatu ciptaan Allah di alam semesta. Tugas-tugas keperawatan hendaklah disusun sejalan dengan tujuan hukum syariat. Bentuk perumusannya adalah peluang kepada manusia untuk mengerahkan segala kemampuannya untuk melakukan berbagai eksperimen dan empiris namun harus tetap harus meyakini bahwa penentu yang terakhir adalah Allah. Peran manusia hanya sebatas usaha (al kasb) dan pilihan (al ikhtiyar).

Tingkat Kebutuhan Terhadap Keperawatan
Setiap tindakan dalam tugas keperawatan dibagi dalam tiga klasifikasi sesuai dengan tingkat kepentingannya. Pertama, adalah tingkatan dlaruriyat yaitu suatu kondisi darurat yang sedang dihadapi oleh orang yang sakit. Apabila derajat kesakitan seorang klien telah mencapai kondisi darurat sesuai dengan pertimbangan medis, maka dapat dilakukan tindakan darurat yaitu diperkenankan untuk menyimpang dari hukum konvensional syari’at, dengan ukuran  sekedar mengatasi suasana yang darurat. Demikian pula, petugas kesehatan dapat menunda untuk sementara waktu kepentingan Allah untuk menyelamatkan situasi darurat yang sedang dihadapi oleh hambaNya misalnya menunda sementara melaksanakan solat karena membantu pasien yang sedang kritis. Kedua, adalah tingkatan hajiyat yaitu kondisi manusia yang sangat membutuhkan untuk menopang terwujudnya hifz al nafs sebagaimana telah diterangkan di atas. Sebagian ulama mempersamakan antara dlaruriyat dengan hajiyat namun dengan derajat yang bisa berbeda. Oleh karena itu, apabila dalam dlaruriyat, seorang petugas keperawatan dapat menunda pelaksanaan ibadah atau melakukan tindakan pemotongan bagian tubuh manusia, maka dalam hajiyat tidak sampai kepada derajat itu. Ketiga, yaitu tahsiniyat yang bersifat aksesori kehidupan. Dalam hal ini hukumnya tidak wajib dan tidak haram yaitu berada pada posisi mubah. Bahkan terkadang, derajat kepentingan tahsiniyat dapat berubah menjadi haram apabila motivasi yang melandasintya justru bersifat cenderung mubazir atau bertentangan dengan tujuan syariat.
Oleh karena itu, seorang petugas keperawatan dituntut kearifan guna menentukan pilihan di antara tiga alternatif kondisi yang dihadapi oleh seorang yang sakit. Hal ini disebabkan karena kesalahan dalam penetapan alternatif justru akan berakibat fatal yaitu pelanggaran terhadap syariat.

Pilihan Hukum Dalam Perawatan
Berikut ini akan dikemukakan sejumlah prinsip tentang berbagai pegangan penetapan hukum terhadap setiap yang bersifat medis. Syaikh Ahmad ibn muhammad Al Zarqa’ dalam kitabnya Syarh Qawa’id Al Fiqhiyyah di samping juga Abd Al Hamid Hakim, Mabadi Awwalyah yang dikutip oleh Nurcholis Madjid.[17]
1.      Al Umur bi maqashidiha yaitu segala pekerjaan ditentukan oleh maksudnya. Hal ini dimaksudkan dalam penetapan perbuatan sebagai ibadah.
2.      Al Yaqin la yuzalu bi al syakk¸sesuatu yang sudah diyakini tidak bisa dibatalkan oleh keraguan. Dengan demikian seorang perawat yang sudah menetapkan sebuah keputusan berdasar keyakinan maka hal itu tidak dapat dianulir oleh suatu keraguan. Prinsip keyakinan ini diperlukan sebagai bentuk perwujudan tanggung jawab dan tanggung gugat.
3.      Al Ashl baraat al dzimmah yaitu prinsipnya manusia bebas dari tanggungan. Seorang perawat hanya diminta pertanggungjawaban atas tindakan medis yang dilakukannya bukan oleh tindakan orang lain.
4.      Al ijtihad la yunqadl bi al ijtihad yaitu sebuah ijtihad tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad yang lain. Seorang perawat yang telah menetapkan sebuah ketetapan medis berdasar pada prinsip teori keilmuan maka keputusannya tidak bisa dibatalkan oleh pemikiran yang lain.
5.      Al Masyaqqat tajlib al taisir yaitu kesulitan akibat beratnya tanggungan mengundang kemudahan. Seorang perawat yang mengjhadapi kesulitan, maka pada saat yang sama hukum syariat kembali menjadi mudah.
6.      Idza dlaqa al amr ittasa’a, yaitu apabila situasi sedang sempit maka hukum berubah menjadi luas dan juga sebaliknya apabila situasi sudah lapang maka hukum kembali menjadi sempit.
7.      La dlarara wa la dlirara, yaitu tidak boleh merugikan atau dirugikan orang lain. Hal ini berpatokan bahwa setiap orang memiliki hak yang sama. Oleh karena itu, tidak selayaknya seorang tenaga perawat menciptakan kesusahan bagi orang  yang sakit.
8.      Al Dlarar yuzalu, yaitu bahaya harus selalu diousahakan untuk menghilangkannya. Hal ini didasarkan bahwa tujuan syariat adalah untuk menghilangkan kesusahan bagi manusia.
9.      Al Dlarurat tubih al mahzurat, yaitu keadaan darurat berakibat memboleh sesuatu yang terlarang alasannya tentunya adalah untuk sekedar menjaga kelangsungan kehidupan manusia. Maka dalam hal ini, perawat dapoat mengambil tindakan darurat yanhg semula tidak dibolehkan hukum guna menjaga agasr seseorang klien tetap hidup. Namun kebolehan terhadap yang terlarang hanya sebatas tidak mengakibatkan kematian.
10.  Al Dlarurat tuqaddari bi qadariha, yaitu darurat harus ditentukan batasnya dan sebatas itulah dibolehkan tindakan yang semula terlarang.
11.  Ma jaza li ‘udzrin batlala bi zawalihi, yaitu sesuatu yang dibolehkan karena adanya uzur syar’i maka hal itu dibatalkan juga karena ketidak adanya uzur syar’i.
12.  Idza zala al mani’ ‘ada al mamnu’ yaitu apabila yang melarang itu telah hilang maka boleh yang terlarang. Seorang perawat yang yakin bahwa ia telah membersihkan diri dari najis dari klien, maka pada saat itu ia boleh kembali melaksanakan solat.
13.  Al dlararu la yuzalu bi mitslih, artinya kemudratan tidak bisa dihilangkan dengan datangnya darurat yang lain. Setiap keadaan darurat mempunyai ketentuan sendiri.
14.  Yutahammalu al dlarar al khas li daf’i al dlarar al ‘am, yaitu bahaya khusus harus ditanggung untuk menolak bahaya yang umum. Hal ini dimaksudkan untuk lebih menghasilkan kemanfataan yang lebih besar dibanding kepentingan perseorangan.
15.  Al dlarar al asyadd yuzalu bi aldarar al akhhaff, yaitu kemudratan yang lebih keras dihilangkan dengan menempuh bahaya yang lebih ringan.
16.  Idza ta’aradla mafsadatanio ru’iya a’zamuhuma dlararan [birtikab akhaffihima], yaitu apabila bertemu dua bahaya maka yang harus dhindarkan yang lebih besar bahaya nya dengan menempuh yang lebih ringan.
17.  Yukhtaru ahwan al syarrain, yaitu dipilih yang lebih ringan dari dua keburukan.
18.  Mala yudraku kulluh la yutraku kulluh, yaitu sesuatu yang tidak dapat diperoleh semuanya maka tidak boleh ditinggalkan semuanya.
19.  Dar’u al mafasid aula mion jalab al mashalih, yaitu menghindari bahaya lebih utama daripada meraih manfaat. Karena menolak kerusakan lebih mendesak untuk memelihara keberadaan manusia.
20.  Al dlarar yudfa’u bi qadar al imkan, yaitu bahaya harus dihindarkan sedapat meungkin.
21.  Al hajat tanzil manzilat al dlarurat, yaitu kebutuhan menempati kedudukan darurat, oleh karena itu sesuatu kebutuhan maka hukumnya dipersamakan dengan darurat.
22.  Al ‘adat muhakkamah, yaitu adat itu menjadi hukum yang diakui sebagai sumber hukum.
23.  La yunkar taghayyur al ahkam bi taghayyur al azman, yaitu tidak dapat diingkari bahwa perubahan hukum  akibat karena terjadinya perubahan waktu.
24.  Al baqa’ ashal min al ibtida’, yaitu bertahan lebiuh mudah daripada memulai.
25.  Al tasharruf ‘ala al ra’yat manuthun bi al mashlahah, yaitu aplikasi hukum kepada rakyat terfgantung kepada maslahat yang akan diperoleh. Oleh karena itu, hukum tidak boleh melahirkan kesulitan bagi manusia.
26.  Idza ta’azzarat al haqiqah yusharu ila al majaz, artinya apabila kesulitan menerima makna hakikat maka dibawa ke makna kiasan.
27.  Idza ta’azzara i’mal al kalam yuhmal, yaitu jika pelaksanaan bunyi lafaz mengalami kesulitan maka boleh diabaikan.
28.  La hujjat ma’a al ihtimal, yaitu tidak bisa dijadikan hujjah berdasarkan hukum kemungkinan. Oleh karena itu, seorang perawat yang akan menetapkan kondisi sebuah pekerjaan perawatan hendaklah berdasar kepada keyakinan bukan pradugaan.
29.  La ‘ibrat li al tawahhum, yaitu tidak boleh ada pertimbangan berdasarkan dugaan.
30.  Al ashl fi asyya’ al ibahat, yaitu pada asalnya segala perkara itu adalah dibolehkan kecuali ada petunjuk yang lain.
31.  Al hukm yaduru ma’a al ‘illat, yaitu hukum itu berjalan bersama alasannya. Hilangnya illat maka hukumnya akan berubah.
32.  Ma la yatimm al wajib illa bihi fahua wajib, yaitu sesuatu yang diperlukan untuk sempurnanya hal yang wajib maka ia juga wajib.

Demikianlah prinsip-prinsip yang menjadi bekal seorang petugas keperawatan atau siapa saja yang berkeinginan untuk mengimplementasikan nilai syariat terhadap segala perbuatan manusia.
Daftar Riwayat Hidup

Nama Lengkap            : Prof. Dr. H. M. Ridwan Lubis
Tempat, Tanggal Lahir : Tapanuli Selatan, 19 Oktober 1947
Jabatan/Pekerjaan        : Dosen FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pendidikan Terakhir     : Program Dr (S3) IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1987)
Alamat Rumah             : Grand Puri Laras H-84 Jl. Legoso Raya, Ciputat 15419
Telp.                             : 021-74717921
HP                                 : 0816104992
E-mail:                          : muh_ridwan_lubis@yahoo.com


[1]Lihat S. Suarli dan Yanyan Bahtiar, Manajemen Keperawatan Dengan Pendekatan Praktis, Penerbit Erlangga, Jakarta, tt., hal. 100.
[2]Ibid., hal. 101
[3]R. Siti Maryam, dkk, Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya, Penerbit Salemba Medika, Jakarta, 2008, hal. 25.
[4]Ibid., hal. 101.
[5]Marilyn M. Friedman, Keperawatan Keluarga, Teori dan Praktik, Edisi 3, alih bahasa Ina Debora R.L. & Drs. Yoakim Asy, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1998, hal. 62.
[6]Ibid., hal. 67.
[7]S. Suarli dan Yanyan Bahtiar, op. cit., hal. 102.
[8]John Tingle and Alan Cribb, Nursing Law and Ethics, Third Edition, Blackwell Publishing, Oxford, United Kingdom, 2007, hal. 21. 
[9]Ibid., hal. 26.
[10]Q.S. Al Dzariyat  [51]: 56.
[11]Dakwah menurut Syekh Ali Mahfudz dalam kitabnya Hidayat Al Musytarsyidin adalah (hats al nas ‘ala al khair wa al huda, wa al amr bi al ma’ruf wa al nahyi ‘an al munakr li yafuzu bi sa’adat al ‘ajil wa ajil).
[12] Lihat Q.S. Al Ra’d  [13]: 11
[13] Lihat Q.S. Al Shaffat [37]: 96.
[14] Lihat Q.S. Al Anbiya [21]: 105.
[15] Lihat Q.S. Ali Imran [3]: 190.
[16] Lihat Q.S. Ali Imran [3]: 191.
[17] Nurcholish Madjid, Tradisi Islam, Peran dan Fungsinyadalam Pembangunan di Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, 2008, hal. 38-40.

0 komentar:

Posting Komentar